Rabu, 01 Mei 2013

Al Athoo Ad Da'wiy


Al Athoo Ad Da'wiy



Da’wah adalah upaya manusia untuk mengubah diri dan lingkungannya
melalui berbagai sarana yang ada. Da?wah tidak mengandalkan kekuatan di
luar upaya manusia sebagai dasar kerjanya*

Da?wah adalah upaya manusia untuk mengubah diri dan lingkungannya
melalui berbagai sarana yang ada. Da?wah tidak mengandalkan kekuatan di
luar upaya manusia sebagai dasar kerjanya. Hanya saja seorang yang
beriman meyakini bahwa ada kekuatan-kekuatan di luar kemanusiaannya
yang mampu mempengaruhi kekuatan dirinya.
Pertolongan Allah SWT akan datang seiring dengan upaya-upaya manusiawi
yang dilakukan oleh orang yang beriman. Oleh karena itu ketika hijrah,
Rasulullah SAW meminta bantuan seorang pemandu jalan seraya
mengharapkan kemudahan perjalanan dari Rabb-nya. Beliau melakukan
perjalanan yang berputar dan berliku seraya mengharapkan Allah SWT
menyesatkan pengejaran orang-orang kafir. Beliau bersembunyi di dalam
goa sebelum Allah menutupinya dengan sarang laba-laba. Ketika berperang,
Muhammad SAW dan kaumnya mempersiapkan pedang dan perbekalan
seraya mengharapkan bantuan malaikat dan hujan.
Sesuatu harus diberikan oleh orang-orang beriman dalam perjuangan
da?wahnya agar kemudahan-kemudahan da?wah datang kepadanya.
Pertolongan Allah SWT tidak boleh diartikan sebagai sebuah ?keajaiban dari
langit? yang datang dengan tiba-tiba dan begitu saja, meskipun hal itu bisa
saja terjadi menurut kehendak Allah SWT jua. Tetapi pertolongan Allah SWT
harus diartikan sebagai respon-Nya terhadap upaya-upaya yang dilakukan
oleh para hamba-Nya. Firman Allah SWT : ?Jika kamu menolong (agama)
Allah niscaya Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah-langkah
kamu.? QS(47:7)
B. AL ATHOO DAN AL YUSRO
Kaum yang beriman, khususnya para pengemban dakwah, tidak boleh bakhil
terhadap apa saja yang dimilikinya karena pada hakekatnya
kebergunaan/mamfaat itu hanya ada pada saat kehidupan di dunia ini.
Setelah mati tidak ada sesuatu pun yang bisa diberikan oleh manusia untuk
menambah timbangan kebaikannya di alam barzah kelak. Firman Allah SWT
: ?Adapun orang-orang yang memberi (apa saja yang dimilikinya di jalan
Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (husna)
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan
pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan)
yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.?
(Al Lail ayat 5 - 11). Jadi, sebesar apa pun pemberian (al athoo) dalam
da?wah maka sebesar itu pula kemudahan (al yusroo) yang akan diperoleh
dari Allah dalam upaya meraih cita-cita dan tujuan-tujuan da?wah.
Ekuivalensi (keseimbangan) antara al athoo dan al yusroo adalah sunnatullah
yang tidak bisa dibantah lagi dan hal ini merupakan sebuah fenomena
sejarah yang terang benderang bagi mereka yang mempelajari dan
memahami Al Qur-an. Perhatikanlah nasib perjuangan Rasulullah SAW dan
para sahabatnya yang di antara mereka saling berlomba-lomba memberikan
kontribusinya dalam bentuk apapun di jalan da?wah yang mereka arungi.
Perhatikan pula nasib kaum Nabi Musa AS yang hanya ingin duduk-duduk
saja sementara pemimpin mereka menggadaikan badan dan nyawanya demi
cita-cita da?wahnya.
Firman Allah SWT : ?Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari
Al Qur-an) serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi ? Apakah dia
mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib sehingga dia mengetahui (apa
yang dikatakan) ? Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada
dalam lembaran-lembaran Musa ? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang
selalu menyempurnakan janji ? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya
usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan
diberikan kepadanya balasan yang paling sempurna dan bahwasanya kepada
Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu) ?? (An Najm ayat 33 - 42).
Pada hakekatnya seseorang harus memberikan kontribusinya dalam dakwah
sekuat kemampuannya, karena semuanya itu akan memberi dampak positif
bagi kehidupan diri dan masyarakatnya. ?Barangsiapa yang berbuat sebesar
zarrah dari kebaikan maka ia pasti akan melihat (balasan)nya. Dan
barangsiapa yang berbuat sebesar zarrah dari kejahatan maka ia pasti akan
melihat (balasan)nya pula.? (Al Zalzalah ayat 7 dan 8). Pemberian yang
ikhlas, hanya semata-mata mengharap rahmat serta balasan dari Allah SWT
semata, menjadi syarat yang mutlak bagi pemberian dalam dakwah.
Terjadinya fenomena seseorang yang hanya dengan pemberian /kontribusi
yang sedikit tetapi mengharap hasil duniawi yang besar menunjukkan
pemahamannya yang rendah tentang nilai-nilai ajaran agama Ilahi ini. Allah
SWT telah melarang Rasulullah SAW berdakwah untuk memperoleh balasanbalasan
duniawi yang nilainya sangat sempit. Firman-Nya : ?Dan janganlah
engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak,? (Al Muddatsir ayat 6).
Hendaknya seseorang hanya mengharap balasan dari sisi Allah sebesarbesarnya
berupa kemudahan (al yusro) hidup di dunia dan akhirat nanti.
Balasan atas kontribusi dakwah yang berbentuk material duniawi (isteri,
anak, harta, kedudukan, kekuasaan, pengikut, dan sebagainya) tetap saja
akan menjadi cobaan yang harus kita hadapi. Balasan Allah SWT kepada
kaum muslimin dalam perang Badar, berupa harta rampasan perang yang
begitu banyak, akhirnya tidak dapat disikapi dengan baik oleh sebagian
kaum muslimin sehingga menjadi sumber fitnah pada Perang Uhud.
C. AL ATHOO : AT TADHHIYAH DAN AL MAS?ULIYAH
Seseorang lahir ke dunia tanpa ada peranan sedikit pun dari dirinya sendiri.
Ia bukanlah apa-apa sebelum kedua orang tuanya dengan izin Allah
mempertemukan sperma dan sel telurnya. Ia bukanlah apa-apa sebelum
Allah SWT meniupkan roh kepadanya dan memproses secara sempurna
bentuk-bentuk fisiknya sehingga ia mempunyai kemampuan penghayatan,
intelektual dan inderawi.
Allah SWT juga telah membentangkan alam semesta baginya sehingga
kreativitasnya mampu memberikan berbagai rizki kepadanya. Sesungguhnya
kontribusi Allah SWT kepada manusia adalah sesuatu yang tiada terhitung (al
Kautsar, QS 108 : 1). Tetapi pada jiwa manusia memang terdapat unsur nafs
(syahwat, QS 3 : 13) yang melahirkan ?sense of belonging?/rasa kepemilikan
dan kecintaan atas segala sesuatu yang melekat pada dirinya, yang masih
berada dalam genggamannya atau bahkan yang berada dalam anganangannya.
Oleh karena itu, al athoo adalah bentuk al mas-uliyah (tanggung jawab)
apabila dipandang dari sisi bahwa yang diberikan oleh seseorang adalah
sesuatu yang sesungguhnya pemberian Allah SWT jua. Al athoo adalah
bentuk at tadhiyah (pengorbanan) jika dilihat dari sisi bahwa seseorang
memang mempunyai rasa kepemilikan dan kecintaan atas apa-apa yang ada
di dalam genggamannya. Semakin tinggi rasa tanggungjawab dan
pengorbanan seseorang akan semakin besar pula kontribusinya terhadap
da?wah Islam.
D. MACAM-MACAM AL ATHOO AD DA?WIY
Terdapat bermacam-macam bentuk pemberian yang dapat dilakukan oleh
seseorang, di antaranya adalah al athoo al fikriy (kontribusi pemikiran), al
athoo al maaliy (kontribusi materi), al athoo an nafsiy (kontribusi jiwa).
1. Al Athoo Al Fikry (Kontribusi Pemikiran)
Kontribusi pemikiran merupakan jiwa dari perjuangan da?wah karena nilainilai
Islam hidup bersama hidupnya pemikiran Islam di kalangan ummat.
Ajaran Islam mampu menembus segala ruang dan waktu yang berubah-ubah
dan mampu berhadapan dengan zaman dan peradaban yang dikembangkan
manusia. Ajaran Islam akan senantiasa siap menyediakan berbagai
perangkat sistem yang dibutuhkan dalam kehidupan : ekonomi, politik, sosial
dan budaya. Ummat Islam akan mampu menjawab semua tantangan itu
dengan satu senjata yang telah ditunjukkan oleh Allah SWT yakni ijtihad.
Karenanya Rasulullah SAW sangat menghargai proses ijtihad yang dilakukan
para pemikir ummat Islam sebagaimana pesan yang disampaikannya kepada
Mu?adz bin Jabbal ketika akan membuka wilayah Yaman.
Dr. Yusuf Qardlawi menyatakan dalam buku Fiqhul Aulawiyat : ?Yang tampak
oleh saya bahwa krisis kita yang utama adalah ?krisis pemikiran? (azmah
fikriyah). Di sana terdapat kerancuan pemahaman banyak orang tentang
Islam. Kedangkalan yang nyata dalam menyadari ajaran-ajarannya serta
urutan-urutannya. Mana yang paling penting, mana yang penting dan mana
yang kurang penting. Ada pula yang lemah memahami keadaan masa kini
dan kenyataan sekarang (fiqh al waqi?). Ada yang tidak mengetahui tentang
?orang lain? sehingga kita jatuh pada penilaian yang terlalu ?berlebihan?
(over estimasi) atau sebaliknya ?menggampangkan? (under estimasi).
Sementara orang lain mengerti benar siapa kita bahkan mereka dapat
menyingkap kita sampai ke ?tulang sumsum? kita. Sampai hari ini kita belum
mengetahui faktor-faktor kekuatan yang kita miliki dan titik-titik lemah yang
ada pada kita. Kita sering membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan
menyepelekan sesuatu yang besar, baik dalam kemampuan maupun dalam
aib-aib kita.?
Kontribusi kaum muslimin dalam bidang pemikiran akan melahirkan sebuah
tsaqah (intelektualitas) dan hadlarah (peradaban) Islam, sebagaimana yang
pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban manusia sejak masa Rasulullah
SAW sampai dengan khilafah-khilafah Islamiyah sesudahnya. Oleh karenanya
kontribusi dalam bidang pemikiran ini akan memiliki buah kontribusi dalam
bidang keilmuan (al atho al ?ilmy) dengan berkembangnya berbagai cabang
ilmu dan kontribusi dalam bidang keterampilan (al atho al fanny) dengan
berkembangnya berbagai keahlian budaya yang menunjang peradaban kaum
muslimin.
2. Al Athoo Al Maaliy (Kontribusi Materi)
Kontribusi materi merupakan kekuatan fisik dari da?wah karena ia akan
menggerakkan jalannya perjuangan ini. Berbagai sarana perjuangan
diperlukan dan harus diperoleh melalui penyediaan material dan finansial.
Oleh karena itu berbagai persiapan dalam hal ini diperintahkan Allah SWT
sebagaimana firman-Nya : ?Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh
Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu
nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukuop kepadamu
dan kamu tidak akan dianaiaya (dirugikan).? (Al Anfal ayat 60)
Para sahabat telah menunjukkan betapa perjuangan dakwah harus diikuti
oleh perjuangan mengorbankan harta, bahkan kadangkala dalam jumlah
yang tiada taranya. Abu Bakar Shiddiq RA adalah sahabat yang rela
mengorbankan seluruh harta miliknya di jalan Allah, sedangkan Utsman bin
Affan yang kaya raya itu juga sangat luar biasa tanggung jawabnya dalam
persoalan kontribusi material ini. Ketika pada masa Khalifah Umar bin
Khattab RA terjadi musim paceklik beliau menyumbangkan gandum yang
dibawa oleh seribu ekor unta. Sebagian sahabat ada yang masih hidup dalam
zaman kekhalifahan yang memiliki harta kekayaan Negara yang sangat
banyak sehingga mereka sempat hidup berkemakmuran sebagai hasil
perjuangan mereka. Tetapi tidak sedikit yang sudah lebih dulu mati dalam
keadaan berkekurangan, tiada harta benda lagi yang dimilikinya,
sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah SAW.
Perjuangan yang dihidupkan tidak hanya dengan semangat dan pemikiran,
tetapi juga dengan dukungan materi yang kuat, akan mampu mengimbangi
dengan musuh-musuh yang seringkali memiliki sarana yang lengkap dan
hebat. Perhatian dalam hal ini adalah sebuah kewajiban yang asasi karena ini
merupakan tuntutan sunatullah. Inilah yang ditunaikan Rasulullah SAW
ketika memproduksi senjata-senjata perang, yang ditunaikan Umar bin
Khattab RA ketika menciptakan ?panser-panser? (dababah) atau Utsman bin
Affan RA ketika membangun angkatan laut yang kuat di bawah pimpinan
Muawiyah.
3. Al Athoo An Nafsiy (Kontribusi Jiwa)
Kontribusi jiwa (nafs) dapat berbentuk pengorbanan untuk menundukkan
dorongan-dorongan nafs-nya yang memerintahkan kepada fujur dan
menyerahkannya kepada ketaqwaan. Sesungguhnya ini adalah kontribusi
yang mendasari seluruh kontribusi lainnya. Seorang harus mengatasi
keinginan-keinginan untuk membesarkan dirinya sendiri terlebih dahulu
sebelum mau berkorban bagi pihak lain. Ia harus membebaskan dirinya dari
sifat bakhil yang mengungkung jiwanya baik dalam aspek material maupun
non material.
Kontribusi terbesar diberikan seseorang kepada dakwah apabila ia rela tidak
saja menundukkan jiwa kebakhilannya, tetapi bahkan melepas jiwanya itu
sendiri dari badannya demi perjuangan dakwah. Inilah cita-cita terbesar dari
seorang pejuang dakwah yang diikrarkannya tatkala ia mulai melangkahkan
kakinya di jalan dakwah : ?Sesungguhnya Allah telah membeli dari orangorang
mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk
mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil dan AL Qur-an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari
pada Allah ? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan
itu, dan itulah kemenangan yang besar.? (At Taubah ayat 111).
Termasuk dalam kontribusi jiwa ini adalah kontribusi waktu (al waqt) dan
kesempatan (al furshokh) yang dimiliki seseorang dalam perjalanan
kehidupannya. Waktunya tidak akan dibelanjakan kepada hal-hal yang tidak
memiliki aspek kedakwahan. Ia juga tidak akan menciptakan atau
mengambil kesempatan-kesempatan dalam kehidupannya kecuali yang
bernilai akhirat. Sebab hanya dengan cara itu ia mampu mengisi perjalanan
jiwanya dengan tenang sampai nanti Allah SWT memanggil jiwanya dan
menyatakan selamat tinggal kepada raganya yang fana dan akan menjadi
tanah.
?Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama?ah hamba-hamba-Ku dan
masuklah ke dalam surga-Ku.? (Al Fajr ayat 27 - 30).

0 komentar:

Posting Komentar